
Kondisi hutan di Nusa Tenggara Barat (NTB) saat ini mengalami kerusakan yang signifikan. Sekitar 60% dari total kawasan hutan di NTB telah rusak, yang berdampak pada keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem hutan. Kerusakan hutan ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada masyarakat yang bergantung pada hutan untuk mata pencaharian mereka.
Kerusakan hutan di NTB disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk aktivitas pertambangan, perambahan hutan, dan alih fungsi lahan untuk pariwisata. Aktivitas pertambangan telah menyebabkan kerusakan pada ekosistem hutan dan menghasilkan polusi yang berdampak pada lingkungan dan kesehatan masyarakat. Perambahan hutan juga telah menyebabkan hilangnya habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna, yang berdampak pada keanekaragaman hayati.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB mencatat bahwa laju kerusakan hutan di NTB mencapai 23 lapangan bola per hari. Angka ini sangat mengkhawatirkan dan menunjukkan bahwa kerusakan hutan di NTB terjadi dengan sangat cepat. Faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan hutan di NTB tidak hanya terbatas pada pertambangan, perambahan hutan, dan alih fungsi lahan, tetapi juga termasuk invasi monokultur jagung dan kegiatan lainnya yang berdampak pada ekosistem hutan.
Invasi monokultur jagung telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan berdampak pada fungsi ekosistem hutan. Kegiatan ini juga telah menyebabkan perubahan pada struktur tanah dan berdampak pada kualitas air. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya serius untuk mengatasi kerusakan hutan di NTB dan memulihkan ekosistem yang rusak. Upaya konservasi dan restorasi hutan di NTB sangat penting untuk dilakukan. Dengan memulihkan ekosistem hutan, kita dapat meningkatkan keanekaragaman hayati, mengurangi dampak perubahan iklim, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang bergantung pada hutan. Oleh karena itu, perlu dilakukan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi lingkungan untuk mengatasi kerusakan hutan di NTB dan memulihkan ekosistem yang rusak.